oleh

Usulan Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional Menuai Pro Kontra

banner 468x60

Jurnalis TV, Jakarta – Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) tengah membahas pengusulan 10 tokoh Indonesia untuk menerima gelar pahlawan nasional. Proses ini telah berlangsung sejak Senin, 3 Maret 2025, dan masih berlanjut hingga saat ini. Dari sepuluh nama yang diusulkan, salah satunya adalah mantan Presiden RI Soeharto yang diajukan oleh Provinsi Jawa Tengah.

Penolakan terhadap usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI ke-2, Soeharto, datang dari berbagai kelompok masyarakat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul merespons kritik tersebut dengan menegaskan bahwa seluruh masukan akan dipertimbangkan dalam proses penilaian.

banner 336x280

Semua kami dengar. Usulan dari masyarakat juga kami ikuti, normatifnya juga kami lalui,” ujarnya ketika ditemui setelah menghadiri acara halal bihalal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Ahad, 20 Maret 2025.

Ia menjelaskan bahwa tim penilai berasal dari beragam latar belakang, seperti akademisi, sejarawan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Proses selanjutnya, kata Gus Ipul, akan melibatkan finalisasi dan pengiriman rekomendasi kepada Dewan Gelar. “Nah, setelah itu nanti saya akan mendiskusikan, memfinalisasi, kami tanda tangani, langsung kami kirim ke Dewan Gelar,” jelasnya.

Baca Juga: Ibnu Sina: Sang Jenius Muslim dan Warisannya di Dunia Ilmu Pengetahuan

Gelar pahlawan nasional diberikan kepada warga negara yang telah gugur dalam perjuangan melawan penjajah, atau yang semasa hidupnya menunjukkan tindakan kepahlawanan maupun menghasilkan karya besar yang berdampak bagi pembangunan bangsa.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap pengajuan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan bentuk penghinaan terhadap para korban pelanggaran HAM yang terjadi selama era Orde Baru.

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jessenia Destarini, menilai bahwa usulan tersebut sangat bermasalah. Ia berpendapat bahwa hal itu seolah-olah mencoba menghapus sejarah kelam dan menutupi kejahatan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.

Akademisi sekaligus mantan aktivis ’98, Ubedilah Badrun, juga menolak pemberian gelar tersebut kepada Presiden ke-2 RI. Menurutnya, sejarah tentang Soeharto terlalu sarat dengan kontroversi, termasuk klaim mengenai perannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Karena Soeharto itu kontroversial, tidak bisa dipahami secara utuh, menurut saya tidak tepat kalau Soeharto diberi gelar pahlawan nasional,” kata Ubedilah dalam diskusi The Political Show CNN Indonesia TV, Selasa (29/4).

Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu juga menyarankan agar presiden-presiden Indonesia setelah Soekarno tidak perlu diberikan gelar pahlawan nasional. Menurutnya, gelar tersebut cukup diberikan kepada Presiden pertama RI, Soekarno.

Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa Soeharto layak dianugerahi gelar pahlawan nasional karena perannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Pernyataan itu disampaikannya ketika ditanya terkait kemungkinan adanya penulisan ulang sejarah dalam konteks usulan tersebut.

Kalau saya sih secara pribadi dari dulu, gelar untuk Pak Harto (Soeharto) itu harusnya dari dulu. Dari dulu Pak Harto itu sangat layak untuk mendapatkan pahlawan nasional,” ujar Fadli di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (6/5) malam WIB.

Menurutnya, siapa pun yang mempelajari sejarah akan menyadari bahwa Soeharto sudah selayaknya menjadi pahlawan sejak lama. Ia menegaskan, melalui Serangan Umum 1 Maret, Soeharto turut berupaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama saat para pemimpin seperti Soekarno dan Agus Salim ditangkap oleh Belanda.

Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Istana, Prasetyo, juga berpendapat bahwa pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukanlah hal yang keliru. Ia menilai, wajar apabila seorang mantan kepala negara diusulkan menerima gelar tersebut. Prasetyo pun mengimbau agar masyarakat tidak hanya menyoroti sisi negatif, melainkan juga menghargai kontribusi Soeharto dalam memimpin bangsa.

Perdebatan mengenai kelayakan Soeharto menerima gelar pahlawan nasional menunjukkan bahwa warisan sejarah tidak pernah lepas dari tafsir dan kepentingan yang beragam. Di satu sisi, ada yang menilai kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa layak diapresiasi. Di sisi lain, tak sedikit yang mengingat masa kelam pelanggaran HAM di era Orde Baru sebagai alasan penolakan. Kini, keputusan akhir berada di tangan Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang dituntut untuk menimbang secara objektif seluruh fakta sejarah dan aspirasi publik.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *