oleh

Sulitnya Pekerja Muda Menembus Dunia Kerja Tanpa Dukungan ‘Orang Dalam

banner 468x60

Jurnalis TV, Jakarta – Fenomena pekerja muda yang mengandalkan jejaring sosial pribadi seperti keluarga, teman dekat, atau kerabat untuk memperoleh pekerjaan masih marak terjadi di Indonesia. Pendekatan ini merupakan strategi informal dalam mengakses informasi lowongan kerja atau rekomendasi dari orang dalam (ordal). Meskipun cara ini bisa mempermudah akses ke lapangan kerja, jenis pekerjaan yang diperoleh cenderung bersifat informal, tidak stabil, dan tidak menjamin perbaikan ekonomi jangka panjang.

Kelompok yang paling terdampak dari fenomena ini adalah para lulusan muda, terutama dari jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi berada pada kelompok usia 15–24 tahun, yakni sebesar 16,16 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa satu dari enam anak muda usia produktif awal masih belum mendapatkan pekerjaan. Fenomena ini terjadi secara luas di seluruh Indonesia, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat industrialisasi rendah dan akses kerja formal yang terbatas.

banner 336x280

Baca Juga: Susah Cari Kerja di Negara Sendiri, Apa Penyebabnya?

Ketergantungan pekerja muda pada jejaring sosial pribadi tidak terjadi tanpa sebab. Terdapat dua faktor utama yang melatarbelakangi kondisi ini. Pertama, keterbatasan jejaring profesional yang dimiliki oleh lulusan muda. Banyak dari mereka belum memiliki akses ke lingkungan kerja formal atau pengalaman magang, sehingga mengandalkan koneksi pribadi menjadi cara tercepat untuk mendapatkan pekerjaan. Menurut laporan International Labour Organization (ILO) berjudul Indonesia: Youth Employment Strategic Review (2020), pencari kerja muda di Indonesia lebih banyak bergantung pada jaringan keluarga dan teman dalam mencari pekerjaan karena sistem layanan ketenagakerjaan publik belum berjalan optimal dan tidak merata.

Faktor kedua adalah lemahnya kemitraan antara institusi pendidikan, khususnya pendidikan vokasi, dengan dunia industri. Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dalam laporan yang dikutip Tempo.co pada Maret 2024 menyatakan bahwa pendidikan vokasi di Indonesia masih minim kolaborasi dengan sektor industri, sehingga lulusan tidak memperoleh pengalaman praktis atau jalur langsung untuk diserap oleh perusahaan. Akibatnya, lulusan vokasi cenderung “berdiri sendiri” dalam mencari pekerjaan, tanpa dukungan jaringan industri yang seharusnya terbangun sejak masa pendidikan.

Meski jejaring sosial pribadi mampu membantu pekerja muda memperoleh pekerjaan, banyak dari pekerjaan tersebut berada di sektor informal. Data BPS menunjukkan bahwa pada Februari 2025, sebanyak 59,40 persen penduduk bekerja di Indonesia berada di sektor informal, naik dari 59,17 persen pada tahun sebelumnya. Kondisi ini menciptakan kerentanan, karena pekerjaan informal seringkali tidak dilengkapi dengan perlindungan tenaga kerja, asuransi, atau kontrak kerja yang jelas. Bahkan, sektor industri pengolahan yang menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbanyak juga mencatat angka pemutusan hubungan kerja (PHK) tertinggi, yaitu 16.801 kasus. Sektor perdagangan dan jasa lainnya juga menunjukkan tren serupa. Ini membuat banyak pekerja muda rentan kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba dan tanpa jaminan. 

ILO dalam kajiannya menekankan bahwa sistem transisi dari pendidikan ke pekerjaan di Indonesia belum dibangun secara sistematis, khususnya dalam hal konseling karier, bursa kerja kampus, dan pelatihan kewirausahaan. Hal ini memperparah kondisi pekerja muda yang tidak memiliki alternatif selain mengandalkan jejaring pribadi. Di sisi lain, akademisi dan pengamat pendidikan vokasi juga menyerukan pentingnya memperkuat kemitraan antara sekolah dan industri agar tercipta ekosistem kerja yang adil dan berbasis kompetensi, bukan koneksi semata.

Ketergantungan pekerja muda pada jejaring sosial pribadi dalam mencari pekerjaan adalah cerminan dari lemahnya konektivitas antara dunia pendidikan dan pasar kerja formal di Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan perbaikan struktural yang mencakup penguatan layanan ketenagakerjaan publik, integrasi program magang yang relevan dalam kurikulum pendidikan, serta peningkatan kerja sama antara lembaga pendidikan dan sektor industri. Tanpa langkah strategis ini, pekerja muda akan terus terjebak dalam siklus pekerjaan informal yang tidak menjamin kestabilan ekonomi jangka panjang.

Referensi:

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *