Jurnalis TV, Tangerang Selatan – Fenomena jasa titip (jastip) barang dari luar negeri semakin marak di media sosial. Dengan memanfaatkan jaringan global dan kepercayaan konsumen, pelaku jastip menjadikan perjalanan luar negeri sebagai ladang bisnis. Namun, di balik peluang ini, muncul kekhawatiran bahwa jastip memperkuat gaya hidup konsumtif dan ketergantungan pada produk asing.
Melalui platform seperti Instagram dan TikTok, pelaku jastip menawarkan barang branded atau unik yang belum tersedia di dalam negeri. Konsumen memesan dan membayar di muka, lalu barang dibelikan dan dibawa pulang oleh pelaku. Produk yang populer mencakup fashion, kosmetik, hingga makanan ringan khas luar negeri.
Sebagai usaha, jastip menunjukkan kreativitas bisnis tanpa perlu toko fisik. Peluang ini tumbuh subur di tengah tren konsumsi yang mengutamakan keunikan dan eksklusivitas. Namun, kecenderungan ini juga menunjukkan masyarakat yang lebih mengutamakan label luar negeri, bahkan untuk barang yang tidak esensial.
Baca Juga: Kebiasaan Scrolling: Dampak pada Otak dan Solusi Praktis untuk Menguranginya!
Dari sisi etika dan hukum, praktik jastip terkadang melanggar aturan bea cukai. Di Bandara Soekarno-Hatta, petugas pernah menyita barang titipan seperti tas dan sepatu bermerek yang tidak dilaporkan secara resmi. Membawa banyak barang tanpa izin juga bisa menimbulkan masalah hukum. Sementara itu, di sisi konsumen, godaan untuk mengikuti tren bisa mendorong pembelian impulsif yang tak perlu.
Tren ini layak diapresiasi sebagai ide bisnis kreatif. Namun, penting juga untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mencintai produk lokal. Kita bisa tetap mendukung usaha kecil sambil mengurangi ketergantungan pada barang impor yang belum tentu lebih baik dari buatan dalam negeri.
Komentar