oleh

Teater Syahid Hadirkan “Jamila”: Panggung Kebenaran, Jerit Keadilan

banner 468x60

Jurnalis TV, Tangerang Teater Syahid kembali mempersembahkan karya terbarunya dalam rangka Studi Pertunjukan 2025, sebuah pementasan yang menjadi bagian dari prosesi pembelajaran dan pengabdian seni para anggota muda Teater Syahid, yang dikenal dengan nama Spectra.

Kali ini, Teater Syahid mengangkat lakon bertajuk “Jamila”, sebuah adaptasi kritis dari naskah legendaris Pelacur dan Sang Presiden karya Ratna Sarumpaet, yang diadaptasi dan disutradarai oleh Sarah Tjia. Pertunjukan ini digelar di Aula Student Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selama empat hari berturut-turut, dari Kamis, 12 Juni hingga Minggu, 15 Juni 2025, pukul 19.30 WIB setiap malamnya.

banner 336x280

Baca Juga: Angkat Isu Krisis Pangan dan Ketimpangan Sosial, Teater Syahid Suguhkan Pementasan Bertajuk “MAKAN!”

Ketika tubuh perempuan dijadikan komoditas, ketika hukum hanya berpihak pada yang berkuasa, dan ketika suara korban dianggap angin lalu – Jamila berdiri, menjerit, melawan.

Jamila bukan hanya tokoh utama. Ia adalah simbol. Ia mewakili ribuan perempuan yang hidupnya diperas oleh sistem yang korup, oleh masyarakat yang lebih mudah menghakimi daripada memahami. Di balik sosoknya yang tampak keras dan membisu, tersimpan luka-luka yang tak pernah diberi ruang untuk sembuh.

Dijual oleh ayahnya sendiri, diperkosa, dipenjara, dan pada akhirnya dijatuhi hukuman mati — Jamila bukan sekadar “pelacur” seperti label yang dilekatkan padanya. Ia adalah korban dari sistem yang buta: hukum yang bisa dibeli, moralitas yang bersandar pada kemunafikan, dan masyarakat yang lebih sibuk membenci daripada mendengar.

Dalam sunyi sebuah sel penjara, Jamila berbicara. Ia tidak meratap, tapi bertanya: “Apakah keadilan masih punya tempat di negeri ini? Atau hanya berlaku bagi mereka yang punya kuasa?

Dalam wawancara dengan Herlina, pemeran utama yang memerankan sosok Jamila, ia mengungkapkan keresahan yang ingin dibawa ke panggung:

Yang mau aku sampaikan itu, aku pengen mereka lebih terbuka. Ga cuma ngeliat sesuatu yang ‘salah’ itu benar-benar kesalahan karena pasti ada sesuatu di baliknya. Kayak Jamila, dia cuma dilihat sebagai pelacur tanpa orang-orang peduli gimana latar belakang hidupnya. Aku pengen orang-orang terbuka pikirannya soal isu-isu seperti ini. Bukan cuma menghujat atau berkomentar di media sosial, tapi harus berani menyatakan bahwa keadilan adalah sesuatu yang masih harus diperjuangkan di negeri ini.”

Sementara itu, sutradara pementasan, Sarah Tjia, menyampaikan harapannya terhadap pertunjukan ini:

Aku berharap Studi Pertunjukan ini jadi jejak awal yang membawa teman-teman Teater Syahid ke panggung yang lebih luas ke depannya. Aku juga mau ngajak semua orang, penonton maupun pelaku, untuk gak melihat teater cuma sebagai hiburan. Tapi juga sebagai ruang refleksi, ruang perenungan tentang dirinya sebagai dirinya. Sesuatu yang kita gelar ini kan menyuarakan kegelisahan ya, aku tidak berharap apa-apa tapi yang terbaik.”

“Jamila” hadir bukan sekadar untuk menghibur. Ia hadir untuk mengguncang nurani. Untuk mengingatkan bahwa di luar panggung, masih banyak Jamila yang hidupnya terjebak dalam sistem yang gagal melindungi. Masih banyak luka yang dibungkam oleh adat, agama, dan kekuasaan. Dan kita, sebagai manusia, sebagai masyarakat, sebagai bangsa, punya tanggung jawab untuk mendengar.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *