oleh

Standar Miskin BPS Dinilai Belum Menggambarkan Kesejahteraan Nyata Masyarakat Indonesia

banner 468x60

Jurnalis TV, Jakarta – Kontroversi seputar angka kemiskinan di Indonesia kembali mencuat setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan per September 2024 yang menyebutkan hanya 8,57% atau sekitar 24,06 juta penduduk Indonesia tergolong miskin. Angka ini kontras dengan laporan Bank Dunia yang menyatakan 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar $6,85 per hari berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP). Perbedaan ini memicu diskusi bahwa standar kemiskinan BPS, yang berfokus pada kebutuhan minimum bertahan hidup seperti 2.100 kilo kalori per hari dan pengeluaran non-makanan dasar, tidak mencerminkan taraf kesejahteraan yang layak di tengah dinamika ekonomi modern.

Data BPS disusun berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan, dengan garis kemiskinan nasional rata-rata Rp590.000 per orang atau sekitar Rp19.000 per hari, yang bervariasi antar provinsi. Sementara itu, Bank Dunia menggunakan standar internasional untuk negara berpendapatan menengah atas (UMIC), termasuk Indonesia dengan GNI per kapita $4.870 pada 2023. Andri Yudhi Supriadi, Statistisi Ahli dari BPS, menegaskan bahwa garis kemiskinan BPS dirancang untuk kebutuhan dasar lokal, bukan standar kesejahteraan global. Namun, ekonom seperti Angus Deaton, peraih Nobel Ekonomi 2015, mengkritik bahwa standar rendah seperti ini dapat menciptakan ilusi penurunan kemiskinan tanpa mencerminkan kualitas hidup yang sebenarnya.

banner 336x280

Baca Juga: Kontroversi Syarat Bansos Vasektomi, Ulama NU Beri pandangan

Data kemiskinan BPS per September 2024 dirilis pada awal 2025, sementara laporan Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook diterbitkan pada April 2025. Perdebatan ini mencuat sepanjang Mei 2025 di media sosial dan forum publik, dengan netizen mempertanyakan kredibilitas dan relevansi metode BPS dalam mengukur kemiskinan di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Perbedaan persepsi ini terlihat jelas di Indonesia, khususnya di daerah dengan biaya hidup tinggi seperti DKI Jakarta, di mana garis kemiskinan rumah tangga mencapai Rp4.238.886 per bulan, dibandingkan Nusa Tenggara Timur yang hanya Rp3.102.215. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa standar BPS sangat bergantung pada harga lokal dan pola konsumsi, yang sering kali tidak selaras dengan realitas kebutuhan masyarakat urban atau pedesaan yang semakin kompleks.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, para ahli menyarankan revisi metodologi BPS. The SMERU Research Institute mengusulkan penyesuaian komposisi pengeluaran makanan dari 75% menjadi 60% dari total garis kemiskinan untuk mencerminkan kenaikan pengeluaran non-makanan, serta memasukkan konsumsi makanan jadi dalam perhitungan. Selain itu, pendekatan berbasis pendapatan, bukan hanya pengeluaran, juga dianggap perlu untuk memberikan gambaran yang lebih akurat. Ekonom Angus Deaton menekankan pentingnya kebijakan yang di kontekstualisasi sesuai kebutuhan lokal agar kesejahteraan masyarakat terjamin, bukan hanya bertahan hidup. Pemerintah juga didesak untuk menggunakan data terpadu (satu data) guna memastikan akurasi dan efektivitas program pengentasan kemiskinan.

Denny Tewu, doktor ekonomi pembangunan, menyatakan bahwa standar BPS yang rendah (setara $3,16 PPP per hari) jauh di bawah standar PBB ($2 per hari) atau standar UMIC ($6,85 PPP), sehingga jumlah penduduk miskin bisa jauh lebih tinggi jika menggunakan patokan internasional. Ia memperingatkan bahwa standar rendah ini dapat menyesatkan kebijakan pengentasan kemiskinan. 

Perbedaan standar kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia bukan sekadar soal angka, melainkan cerminan bagaimana kemiskinan didefinisikan dan diukur. Standar BPS yang berfokus pada bertahan hidup dinilai belum cukup untuk menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat Indonesia. Dengan revisi metodologi dan kebijakan yang lebih inklusif, pemerintah diharapkan dapat menjangkau lebih banyak kelompok rentan miskin dan menciptakan keadilan sosial yang berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Referensi:

Badan Pusat Statistik. (2025, Mei 2). Memahami perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/id/news/2025/05/02/702/memahami-perbedaan-angka-kemiskinan-versi-bank-dunia-dan-bps.html

Iswara, M. A. (2023, Mei 24). Miskin Menurut Siapa? Solusi Menaikkan Garis Kemiskinan Indonesia. The SMERU Research Institute. https://smeru.or.id/id/article-id/miskin-menurut-siapa-solusi-menaikkan-garis-kemiskinan-indonesia

Mediana. (2023, Desember 30). Bertahan Hidup dengan Terus Bekerja. Kompas.id. https://www.kompas.id/artikel/ekonomi-bertahan-hidup

Supriadi, A. Y. (2025, Mei 20). Di Balik Kategori “Miskin” BPS: Standar Bertahan Hidup, Bukan Taraf Kesejahteraan. The Conversation. https://theconversation.com/di-balik-kategori-miskin-bps-standar-bertahan-hidup-bukan-taraf-kesejahteraan-256799?utm_medium=article_native_share&utm_source=theconversation.com

Zonautara.com. (2025, Mei 20). Di Balik Kategori “Miskin” BPS: Standar Bertahan Hidup, Bukan Taraf Kesejahteraan. Zonautara.com. https://zonautara.com/2025/05/20/di-balik-kategori-miskin-bps-standar-bertahan-hidup-bukan-taraf-kesejahteraan/

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *