JTV – Negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan “Democracy”, dimana democracy merupakan suatu gaya pemerintahan yang semua warga negaranya punya hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang didasarkan pada kesepakatan mayoritas secara bebas, baik langsung atau perwakilan.
Dari beberapa literatur, seperti Undang-undang Dasar 1945, norma hak atas kebebasan berekspresi acap kali dilaraskan dengan norma hak atas kebebasan berpendapat sehingga lumrah disebut dengan The freedom of expression and opinion. Norma-norma hak atas kebebasan berpendapat dipandang sebagai salah satu faktor utama demokrasi. Hak atas kebebasan berpendapat juga terkadang digunakan untuk mewujudkan gaya pemerintahan yang akuntabel dan patuh terhadap kepentingan umum.
Seperti yang tertera dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28 E ayat (3) bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Kemudian tafsiran dari pasal tersebut ditopang oleh Undang-undang No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum pasal 1 ayat (1) yaitu “ Kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku”. Sejalan dengan itu, teknologi komunikasi dengan berbagai bentuk media sosial telah menyajikan kebebasan bagi semua orang agar dengan mudah bisa berkreasi dan berekspresi pada berbagai platform yang tersedia.
Belakangan ini, tidak sedikit masyarakat mengadakan panggung ekspresi bahkan sering memberikan cuitan di media sosial. Hal tersebut disebabkan dengan berkembangnya teknologi telekomunikasi yang begitu cepat. Dengan kata lain, perkembangan media komunikasi memicu munculnya isu terkait bagaimana langkah terbaik untuk mengartikulasi nilai kebebasan berpendapat juga bagaimana melindungi setiap orang dari pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yang terlalu berlebihan. Oleh karena itu, bukan hal baru bagi khalayak mendapati tantangan untuk mengekspresikan kebebasan dalam berekspresi. Terlebih HAM memiliki pembahasan isu kebebasan berpendapat, sepertinya semua orang harus bisa memahami bagaimana konteks kebebasan berpendapat dengan menyeluruh
Pemahaman tersebut bertujuan agar setiap orang bisa memangku hak asasi manusia yang sama rata, terlepas dengan adanya latar belakang yang berbeda baik ekonomi, ras, suku adat, budaya bahkan agama. Itu semua dilakukan agar semua orang bisa mendapatkan hak nya sebagai warga negara yang kaffah. Penulis mengutip perkataan Jhon Locke, dalam karyanya “The Second Treaties of Civil Government and Letter Concerning Toleration”, ia menuturkan bahwa setiap individu dikaruniai hak yang melekat untuk hidup serta kebebasan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara.
Amnesty mencatat sepanjang 2020 ada 132 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 156 korban. Sementara selama tahun 2021 sudah terjadi 56 kasus serupa dengan total 62 korban. YLBHI juga mencatat banyak pelanggaran terhadap hak warga sipil. Berdasarkan catatan akhir tahun, YLBHI menerima setidaknya 104 kasus pelanggaran hak sipil yang 80% adalah kasus kebebasan berekspresi.
Pada aktualisasinya kebebasan berpendapat terus di gerus oleh para kaum elit terlebih para aktor politik yang berusaha untuk membungkam kritik yang dituju ke lembaga atau individunya. Tak jarang kita menemukan fenomena penangkapan yang terjadi akibat mengekspresikan pendapatnya, baik secara lisan, tulisan, bahkan gambar yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung. Misalnya seperti kasus penangkapan pelaku mural yang melukis wajah Presiden Jokowi bertuliskan 404: Not Found , Pihak kepolisian yang dalih perbuatan itu merupakan melanggar hukum.
Beberapa aktivis menilai bahwa mural tersebut harusnya berdelik aduan, karena polisi tidak bisa memproses kasus sebelum ada pihak yang dirugikan dan melaporkan ke yang berwenang. LBH Jakarta pun menilai bahwa tindakan penghapusan mural merupakan bukti nyata kerdilnya demokrasi di Indonesia. Terbaru, Aliansi Masyarakat Sipil melakukan aksi bentang spanduk penolakan terhadap RKUHP yang kembali dibahas dan akan disahkan oleh pemerintah. Peristiwa itu kembali di represif oleh aparat kepolisian yang selama aksi tersebut berusaha untuk membungkam dan melakukan kekerasan verbal.
Sebagai contoh, Asfin menyebut banyak peserta demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja yang mengalami kekerasan dan pemidanaan. Pada kasus tersebut, YLBHI mencatat sekitar 20 masyarakat sipil peserta demo yang diputus bersalah oleh majelis hakim. “Tentunya masih banyak lagi peserta demo UU Omnibus Law yang diputus bersalah yang tidak ada dalam catatan kami,” ujar nya.
Sudah seharunya pemerintah bisa mengimplementasikan nilai-nilai hak kebebasan berpendapat bagi masyarakat. Karena sejatinya dalam kehidupan bermasyarakat yang menganut sistem Demokrasi, sudah pasti mengakui adanya HAM. Kebebasan dalam berekspresi dan berbeda pendapat pun menjadi hak dasar yang mutlak harus dilindungi dan dipenuhi negara. Hubungan antara kebebasan berpendapat dalam demokrasi menjadi prasyarat terwujudnya prinsip akuntabilitas dan transparansi yang utama bagi perkembangan perlindungan HAM.
JTV-Farid Abdullah Lubis
Komentar