Jurnalis TV, Tangerang Selatan – Di era kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, kebebasan berekspresi menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan negara demokratis. Kebebasan ini memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan ide, menyampaikan opini, mengajukan kritik, serta turut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Namun, di tengah arus digital yang terus berkembang, kebebasan berekspresi juga menghadirkan tantangan baru. Ruang digital menjadi wadah yang dinamis, tetapi sekaligus kompleks dalam mengatur batas antara ekspresi pribadi dan etika sosial.
Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan oleh unggahan seorang mahasiswi ITB yang memviralkan meme berisi gambar Presiden Prabowo Subianto dengan mantan presiden Joko Widodo. Kasus ini memicu perdebatan hangat di tengah masyarakat sejauh mana kebebasan berekspresi bisa berjalan berdampingan dengan etika digital.
Baca Juga: PeduliLindungi Jadi Situs Judi, Apakah Kelalaian Digital Pemerintah?
Saiful Bahri, dosen Hukum dan Sistem Media Massa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menanggapi kasus meme yang melibatkan seorang mahasiswi ITB sebagai isu yang menarik perhatian publik dan layak menjadi bahan refleksi bersama. Menurutnya, kasus ini membuka diskusi penting mengenai batas-batas kebebasan berekspresi di era digital.
“Yang saya pahami, mahasiswi ini dijerat dengan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 45 soal asusila. Nah, pertanyaannya, apakah foto itu kemudian memuat asusila? Karena itu bagian dari kritik terhadap kondisi politik saat ini,” ujarnya.
Saiful menyoroti bahwa meme yang menggambarkan adegan ciuman antara dua tokoh politik nasional merupakan simbolisasi dari fenomena “penyatuan politik” yang sebelumnya terlihat kontradiktif. Dalam konteks tersebut, ia mempertanyakan apakah hal ini bisa dikategorikan sebagai konten asusila atau justru dimaknai sebagai bentuk satire politik yang sah. Ia juga menggarisbawahi urgensi regulasi media sosial yang lebih ketat. Menurutnya, media sosial saat ini memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan mampu membentuk opini publik dan mengarahkan media massa. Oleh karena itu, ia menilai penting adanya aturan hukum yang lebih tegas agar media sosial tidak disalahgunakan, terutama oleh aktor-aktor seperti buzzer politik yang kerap menyebarkan disinformasi atau melakukan serangan digital demi kepentingan tertentu.
Tak hanya soal regulasi, Saiful juga menegaskan pentingnya menjaga ruang demokrasi yang sehat. Ia mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap kritik publik bisa menjadi ancaman serius terhadap fungsi kontrol sosial masyarakat terhadap pemerintah.
“Bayangkan kalau semua orang mengkritik kemudian dipidanakan. Ini akan mengganggu proses kontrol dari masyarakat kepada pemerintah,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Saiful menyambut baik upaya revisi Undang-Undang ITE yang belakangan dilakukan. Ia berharap revisi tersebut dapat menjadi titik seimbang antara perlindungan hukum dan jaminan kebebasan berekspresi dalam negara demokratis.
Faiq Fadhlurahman, selaku Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, menanggapi fenomena kritik terhadap pemerintah melalui meme di media sosial. Menurutnya, bentuk penyampaian kritik dengan meme sebenarnya sah-sah saja, asalkan tetap memperhatikan unsur etika. Ia mengakui bahwa ia telah melihat meme yang menjadi sorotan tersebut dan menilai bahwa penyampaiannya kurang etis karena menggunakan ilustrasi yang tidak pantas.
“Sebenarnya sih sah-sah aja kalau dia menggunakan cara ilustrasi yang lebih pantas,” ucapnya.
Dwi Prasetyo, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyoroti pentingnya peningkatan literasi hukum di kalangan generasi muda, khususnya dalam memahami batas-batas berekspresi di media sosial. Ia menyayangkan masih banyaknya masyarakat, terutama anak muda, yang belum memahami perbedaan antara kritik terhadap kebijakan dan serangan terhadap individu.
“Jangan sampai kita niatnya baik untuk mengkritik kebijakan pemerintah, tetapi malah mengkritik personal orangnya sehingga bisa dikenakan hukum pidana,” tegasnya.
Salfa Aurora, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta lainnya, lebih menekankan pada aspek etika dan moral. Menurutnya, kritik yang menyerang secara personal bukanlah bentuk ekspresi yang patut dibenarkan, terlebih jika disebarluaskan di ruang publik seperti media sosial.
“Menurut aku dari cara mengkritiknya itu udah ke arah personal ya, maksudnya Prabowo sama Jokowi pun beliau juga punya hak pribadi yang harus ditegakkan juga,” ujarnya.
Kebebasan berekspresi di era digital adalah hak demokratis yang harus disertai tanggung jawab dan etika, terutama di media sosial. Kasus meme kontroversial menunjukkan perlunya regulasi jelas agar ekspresi tidak melanggar hukum, namun tetap mendukung kritik dan kontrol sosial. Revisi UU ITE menjadi langkah penting menyesuaikan hukum dengan dinamika digital.
Komentar