Jurnalis TV, Jakarta — Di tengah kemajuan teknologi dan perkembangan transportasi modern, moda transportasi tradisional perlahan mulai kehilangan pamornya. Salah satunya adalah bajaj kendaraan roda tiga berwarna oranye khas Jakarta yang sejak tahun 1970 sudah setia mengantarkan masyarakat berkeliling kota, kini menjadi salah satu yang paling terdampak dari adanya modernisasi transportasi.
Kehadiran transportasi online yang serba praktis dan mudah diakses lewat aplikasi mulai menggeser popularitas bajaj. Masyarakat kini lebih memilih layanan yang menawarkan tarif lebih terjangkau, rute fleksibel, dan kemudahan pemesanan yang hanya lewat genggaman tangan. Kondisi ini tentu menjadi tantangan berat bagi para supir bajaj yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kendaraan mungil tersebut. Modernisasi transportasi perlahan membuat keberadaan bajaj kian terpinggirkan dijalanan ibu kota.
Baca Juga: Pengadaan Sepeda Listrik di UIN Jakarta Timbulkan Beragam Persepsi
Hamim selaku supir bajaj, mengakui adanya dampak dari munculnya kendaraan online yang memengaruhi pemasukan nya. Menurutnya adanya penurunan minat masyarakat terhadap bajaj ini, selain disebabkan oleh munculnya kendaraan online, juga disebabkan dengan hadirnya jak lingko di wajah perkotaan.
“Adanya transportasi online berpengaruh besar. tetapi saat ini saya belum ada pemikiran untuk beralih ke ojek online seperti itu dikarenakan masih sama sih dia (ojek online) juga banyak yang ngeluh juga. Supir bajaj adalah profesi utama saya tidak ada sampingan lagi. Menurut saya faktor utama banyak masyarakat yang beralih ke transportasi online karena online kan lebih murah, lebih simpel, paling itu sih. Jadi bajaj itu pengaruh utamanya bukan online tapi banyaknya jak lingko itu yang paling berpengaruh, ya karena kan gratis. Paling itu sih,” ujarnya.
Tak hanya soal pendapatan, sopir bajaj pun kerap dihadapkan pada pilihan sulit bertahan atau beralih profesi. Beberapa di antaranya mengaku sempat terpikir menjadi sopir transportasi online, namun terkendala usia, kemampuan teknologi, dan biaya. Namun, di tengah popularitas transportasi online yang terus meningkat, ada juga yang masih menaruh hati dan bertahan dengan transportasi tradisional karena alasan tertentu.
Ibrahim seorang warga yang masih setia menggunakan bajaj, menurutnya bajaj masih digemari karena adanya beberapa warga yang belum memiliki kendaraan pribadi. Selain itu harganya yang bisa ditawar, juga menjadi keunggulan dari transportasi bajaj.
“Transportasi ini kan kebanyakan dipakai masyarakat kalangan bawah, terutama yang nggak punya kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor. Mereka akhirnya mengandalkan transportasi umum seperti bajaj. Saya sendiri pernah coba pakai transportasi online kayak Grab, Gojek, atau Maxim. Tapi kadang tetap balik lagi ke bajaj. Alasannya macam-macam, bisa karena pengen cepat, sinyal susah, atau aplikasinya nggak bisa diakses. Kalau soal keunggulan, bajaj itu nggak cuma soal kendaraan, tapi soal kepraktisan. Kita tinggal naik aja tanpa perlu nunggu driver. Harganya juga masih bisa ditawar. Misalnya kalau ongkos ditawarkan Rp50.000, kita bisa nego sampai dapat harga yang cocok. Saya rasa, bajaj masih ada di hati masyarakat karena selain murah, juga fleksibel soal harga,” ujarnya.
Kehadiran bajaj sebagai moda transportasi tentu tak semudah itu untuk dilupakan. Mengingat adanya konsumen yang belum pandai teknologi sehingga lebih memilih transportasi umum dan juga ada yang merasa bahwa bajaj lebih praktis, yang bisa langsung dinaiki tanpa harus memesan via online. Meskipun bajaj masih memiliki penggemar setia, tak bisa dipungkiri bahwa cepatnya perkembangan teknologi telah membuat sebagian masyarakat tetap berpegang pada transportasi online karena dinilai lebih murah, aman, dan jangkauannya luas hingga ke gang-gang kecil.
Hendrik selaku peminat ojek online mengatakan bahwasannya ia lebih memilih kendaraan online karena memberikan biaya yang tetap serta lebih cepat dan juga praktis dalam pemesanan.
“Saya pernah naik bajaj. Menurut saya, perbedaan antara bajaj dan transportasi online itu jelas, terutama dari segi biaya. Kalau ojek online, tarifnya sudah pasti, jadi kita bisa siapin dulu. Sementara bajaj, selain tarifnya bisa berubah-ubah, kendaraannya juga jarang. Bajaj biasanya cuma ada di titik-titik tertentu, nggak mungkin juga kan kita panggil bajaj ke rumah. Kalau transportasi online kan tinggal pesan lewat aplikasi, sebentar lagi udah sampai ke rumah. Makanya, saya lebih pilih transportasi online karena lebih cepat dan praktis. Kalau bajaj, selain nunggu lama, nyarinya juga susah,” ujarnya.
Namun, di balik derasnya arus modernisasi, keunikan bajaj tetap punya tempat tersendiri di hati sebagian orang. Meskipun perlahan tergerus zaman, kendaraan roda tiga ini masih menjadi simbol ikonik ibu kota. Bajaj bukan sekadar alat transportasi, tapi juga bagian dari sejarah kota yang patut dijaga. Di tengah gempuran layanan online, tidak ada salahnya sesekali kembali merasakan serunya naik bajaj, berkeliling jalan-jalan kecil Jakarta, dengan suara khas mesinnya yang berisik namun penuh kenangan.
Komentar