oleh

Fenomena Quiet Quitting: Perlawanan Halus atau Tanda Ketidakpuasan?

banner 468x60

Jurnalis TV, Jakarta – Fenomena quiet quitting semakin ramai dibicarakan di dunia kerja. Istilah ini merujuk pada sikap karyawan yang hanya melakukan tugas dasar sesuai deskripsi pekerjaan tanpa berusaha ekstra, sebagai bentuk protes pasif terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas tinggi namun sering kali minim apresiasi. Dari sudut pandang sosial-psikologis dan budaya kerja, quiet quitting bisa dipahami sebagai reaksi halus karyawan terhadap tekanan dan ketidakseimbangan dalam lingkungan kerja.

Secara psikologis, quiet quitting muncul karena karyawan merasa lelah secara emosional dan fisik akibat tuntutan kerja yang berlebihan tanpa penghargaan yang memadai. Banyak pekerja, terutama generasi milenial dan Gen Z, mulai menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance). Mereka memilih untuk membatasi keterlibatan emosional dan usaha ekstra agar tidak mengalami kelelahan atau stres berlebihan. Dengan kata lain, quiet quitting adalah cara mereka mempertahankan kesehatan mental sambil tetap bertahan di pekerjaan. 

banner 336x280

Dari perspektif budaya kerja, fenomena ini juga merupakan kritik tersembunyi terhadap budaya hustle dan produktivitas yang kerap menuntut karyawan untuk selalu siap bekerja melebihi jam kerja resmi tanpa bayaran yang sesuai. Ketika usaha ekstra tidak diapresiasi, baik dari segi pengakuan maupun imbalan, karyawan kehilangan motivasi untuk memberikan lebih dari yang diwajibkan. Mereka pun memilih untuk “berhenti diam-diam” dengan hanya menjalankan tugas pokok saja, sekaligus menjaga energi agar tidak habis sia-sia.

Baca Juga: Fenomena Oversharing di Media Sosial: Batas antara Ekspresi dan Privasi

Perubahan pola kerja selama pandemi COVID-19 juga memperkuat tren ini. Bekerja dari rumah (WFH) mengurangi interaksi sosial di kantor, melemahkan rasa kebersamaan dan keterikatan karyawan pada perusahaan. Minimnya komunikasi dan apresiasi membuat semangat kerja menurun, sehingga banyak pekerja merasa pekerjaan hanya sebatas kewajiban yang harus diselesaikan demi gaji, tanpa lagi ada rasa antusiasme atau loyalitas yang tinggi. 

Dampak quiet quitting tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh perusahaan. Produktivitas yang menurun, semangat kerja yang loyo, dan berkurangnya inovasi menjadi tantangan serius bagi perusahaan. Jika dibiarkan, fenomena ini dapat menyebabkan tingginya turnover dan kesulitan mempertahankan talenta terbaik. 

Fenomena quiet quitting bukan sekadar tren sesaat, melainkan cermin nyata dari kebutuhan karyawan akan keseimbangan, penghargaan, dan lingkungan kerja yang lebih manusiawi. Perusahaan yang mampu mendengarkan dan merespons sinyal ini dengan bijak akan menciptakan budaya kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga berkelanjutan dan penuh empati. Dengan demikian, quiet quitting dapat menjadi momentum penting untuk membangun hubungan kerja yang lebih sehat dan harmonis demi kemajuan bersama.

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed