Jurnalis TV, Jakarta – Media sosial kini tak hanya menjadi wadah untuk berbagi informasi dan menjalin komunikasi, tetapi juga ruang di mana individu merasa dituntut untuk menampilkan citra yang ideal. Di balik unggahan yang tampak sempurna, terselip tekanan sosial yang tidak ringan. Banyak pengguna merasa harus terus mempertahankan penampilan, pencapaian, dan gaya hidup tertentu demi memenuhi ekspektasi publik.
Sebagai bentuk respons terhadap tekanan tersebut, muncul kebiasaan membuat second account atau akun kedua. Akun ini biasanya bersifat lebih privat, hanya diikuti oleh lingkaran pertemanan dekat atau bahkan anonim. Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang yang lebih aman dan nyaman, jauh dari tuntutan eksistensi di akun utama.
Baca Juga: Fenomena Oversharing di Media Sosial: Batas antara Ekspresi dan Privasi
Menurut psikolog klinis Fitri Jayanthi, M.Psi., kecenderungan ini mencerminkan upaya individu memisahkan antara persona yang ditampilkan ke publik dan jati diri mereka yang sebenarnya. “Sekarang banyak banget Gen Z yang punya second account. Mereka menunjukkan ideal self di akun utama, lalu bisa lebih jujur dan ekspresif di akun kedua,” ujarnya dalam wawancara bersama IDN Times, pada Minggu (12/01/2025).
Lebih dari sekadar pelampiasan, akun kedua juga menjadi media untuk menjaga kesehatan mental. Di sana, pengguna merasa lebih bebas mengekspresikan keresahan, kekhawatiran, bahkan hal-hal sepele yang tak berani dibagikan di ruang publik. Dengan kendali yang lebih besar terhadap siapa saja yang dapat mengakses konten, akun ini memberikan rasa aman yang sulit ditemukan di platform utama yang terbuka untuk umum.
Namun, keberadaan akun kedua tidak selalu digunakan secara positif. Dalam beberapa kasus, akun ini dimanfaatkan untuk menyampaikan ujaran kebencian, menyerang individu lain, atau menyebarkan informasi palsu tanpa identitas yang jelas.
Fitri Jayanthi menegaskan bahwa tindakan semacam itu sering kali muncul dari rasa tidak aman yang dilampiaskan melalui perilaku merendahkan orang lain. “Kadang-kadang, orang pakai akun kedua untuk menyampaikan kritik atau hujatan karena mereka merasa tidak berani di akun utama. Tapi ini juga menunjukkan ketidaknyamanan dalam dirinya sendiri,” jelasnya.
Second account bisa menjadi sarana refleksi dan ekspresi diri yang sehat, sejauh digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. Ia membuka ruang baru bagi individu untuk menyeimbangkan antara tuntutan sosial dan kebutuhan pribadi. Namun, kebebasan yang ada di balik akun privat tidak seharusnya menjadi pembenaran untuk merugikan atau menyakiti orang lain. Media sosial, dalam bentuk apa pun, tetap perlu dijalankan dengan etika dan kesadaran akan dampaknya terhadap sesama.
Referensi:
Kompas.com. (2024, September 12). Psikolog ungkap alasan seseorang memiliki second account di media sosial. https://lifestyle.kompas.com/read/2024/09/12/135100220/psikolog-ungkap-alasan-seseorang-memiliki-second-account-di-media-sosial
Kompas.com. (2024, September 12). Kenapa orang pakai second account di media sosial untuk menghujat https://lifestyle.kompas.com/read/2024/09/12/160857220/kenapa-orang-pakai-second-account-di-media-sosial-untuk-menghujat
Salma, D. F. (2025, Januari 12). Kenapa Gen Z suka curhat di second account? Psikolog ungkap alasannya. IDN Times. https://www.idntimes.com/life/inspiration/dina-fadillah-salma-2/kenapa-gen-z-suka-curhat-di-second-account
Komentar