Jurnalis TV, Tangerang Selatan — Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar (Kemendikdasmen) dan Menengah resmi mengumumkan bahwa kurikulum kecerdasan buatan (AI) akan mulai diterapkan pada jenjang SD hingga SMA mulai tahun ajaran 2025/2026. Keputusan ini menjadi sorotan berbagai kalangan, terutama tenaga pendidik yang berada di garda terdepan pelaksanaannya.
Langkah ini dinilai sebagai inovasi untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi perkembangan teknologi global. Namun, sebagian guru menyuarakan kekhawatiran tentang kesiapan infrastruktur sekolah, kemampuan guru, hingga potensi dampak negatif AI terhadap kebiasaan belajar siswa.
Retno Sari, guru kelas 5 di SDIT Citra Sahabat, menyambut baik rencana ini untuk kelas atas seperti 4, 5, dan 6. Meski begitu, ia menekankan pentingnya pengawasan dan pendampingan ketat dari guru dan orang tua.
“Digitalisasi memang penting, tapi terlalu cepat bisa membuat anak-anak lebih bebas, kurang kontrol. Mereka sudah pegang HP dari kecil. Kalau tidak diawasi, bisa makin pasif dan malas berpikir,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya literasi digital dan kemampuan komputer sebagai bekal utama dalam menghadapi AI. Namun, menurutnya, AI yang digunakan secara instan justru bisa mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kreativitas anak.
Baca Juga: Jasa AI Ghibli: Kreativitas Baru atau Seni yang Dicuri?
Senada dengan itu, Ibu Sri Rul Hayati, Kepala Sekolah SDIT Citra Sahabat, menyampaikan bahwa meski AI membawa manfaat, pelaksanaannya harus dilakukan secara bertahap dan tidak diterapkan di semua jenjang.
“Kelas atas mungkin bisa mulai diperkenalkan AI, tapi tetap harus diawasi. Interaksi sosial anak bisa terganggu kalau mereka terlalu fokus ke layar. Makanya, harus ada filter nilai-nilai agama dan budaya dalam pembelajarannya,” jelasnya.
Luthfi Assyathry, guru di SDIT Citra Sahabat, turut menekankan pentingnya pembelajaran coding sebagai keterampilan utama dalam memahami AI. Namun, ia juga mengingatkan agar penggunaan AI tidak sepenuhnya menggantikan peran guru.
“Kalau semua dijawab AI, untuk apa ada guru? Anak-anak jadi malas berpikir, semua maunya instan. Itu berbahaya buat perkembangan mereka,” katanya.
Deany Riska Rosalina, wali kelas 3 SDIT Citra Sahabat, memberikan pandangan bahwa AI bisa membantu guru, namun belum cocok sepenuhnya untuk siswa SD kelas bawah. Menurutnya, literasi siswa akan makin lemah jika mereka terlalu dimanjakan dengan kemudahan AI.
“Kalau untuk guru sih membantu ya. Tapi kalau ke anak-anak, apalagi kelas kecil, bisa-bisa makin malas belajar. Harus diawasi betul dan diberi dasar yang kuat dulu sebelum pakai teknologi,” ujarnya.
Para pendidik sepakat bahwa pemerintah perlu mempersiapkan kurikulum AI secara matang, dengan pelatihan guru dan penguatan fasilitas belajar. Mereka juga berharap penerapan dimulai dari kelas atas dan tidak dilakukan secara terburu-buru.
Penerapan AI di sekolah memang menjanjikan kemajuan, namun tanpa perencanaan matang dan pendampingan yang tepat, teknologi ini bisa menjadi bumerang. Harapannya, AI menjadi alat bantu yang mendidik, bukan menggantikan proses berpikir siswa.
Komentar