JAKARTA — RUU DKJ atau Daerah Khusus Jakarta belum disahkan menjadi polemik yang beredar di masyarakat. Rancangan RUU DKJ ini dinilai menjadi salah satu bukti kemunduran bagi demokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
RUU DKJ merupakan hasil pembahasan dalam rapat pleno penyusunan RUU DKJ, pada 4 Desember 2023. Dan diketahui, bahwa DPR menyetujui rancangan ini. Disebutkan pada pasal 10 ayat (2) draft RUU DKJ, bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.”
Di satu sisi, disetujuinya pengusulan draft RUU DKJ ini dinilai oleh DPR sebagai bentuk keinginan untuk tetap mempertahankan kekhususan Jakarta setelah tak lagi menjadi ibukota. Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD yang menyatakan bahwa adanya norma yang mengatur penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden bisa saja dilaksanakan karena DPR ingin tetap mempertahankan kekhususan Jakarta.
Lebih lanjut, Mahfud MD juga menyinggung Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tidak melangsungkan pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur, namun pemilihan kepala daerah tetap dilakukan pada tingkat kabupaten/kota.
Sedangkan di sisi lain, pasal tersebut dinilai mencederai prinsip demokrasi yang sudah berjalan dengan baik. Hal ini diungkapkan oleh beberapa kalangan masyarakat yang menolak disahkannya draft RUU DKJ, seperti Ketua Umum Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, Riano P. Ahmad yang mengatakan bahwa Bamus Betawi menolak disahkannya RUU DKJ secara tegas. Karena menurutnya, jika RUU DKJ disahkan, maka demokrasi akan mundur dan mencederai regulasi yang sudah berjalan dengan baik.
Penulis: Aida Adha Siregar
Komentar